Masyarakat Sipil - Jambi
Kereta Kencana Kolonial di Parlemen
3 jam lalu
Dari warisan "Pangreh Praja" hingga gaya hidup hedonis pejabat, kemewahan yang menjamur di tengah gersangnya perekonomian rakyat
***
Meskipun tidak menjadi inspirasi pokok, tulisan ini akan diawali dengan sebuah petikan yang pernah dilontarkan oleh seorang yang mewakili kaum intelektual sekaligus adalah komentator politik. Dalam salahsatu segmen acara yang kaya akan bumbu perdebatan disampaikannya bahwa, ”Sopan santun itu bahasa tubuh, pikiran tak memerlukan sopan santun. Sopan santun dalam pikiran adalah kemunafikan”.
Pangreh praja adalah penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya. Kebanyakan dari pangreh praja berasal dari kaum priayi atau bangsawan, (historia.id)
Adat istiadat yang memiliki kekuatan hukum di Hindia Belanda yang lebih kuat daripada di tempat lain, kebiasaan tersebut mengharuskan pejabat yang dipercayakan untuk memerintah sebuah distrik harus disambut dengan meriah kedatangannya. Apa yang disebut ”Hindia Belanda” sejauh menyangkut hubungan penduduknya dengan negeri induk, harus dibagi menjadi dua bagian besar yang sangat berbeda. Walaupun untuk penamaan ”Hindia Belanda” tidak sepenuhnya tepat, namun begitulah demikian istilah resminya.
Bagian Pertama, terdiri dari suku-suku yang raja-raja dan pangeran-pangerannya telah lelah menjadi bawahan belanda, tetapi tetap mempertahankan pemerintahan langsung di tangan mereka sendiri, baik di tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Bagian Kedua, meliputi seluruh jawa yang tunduk secara total dan langsung kepada Belanda, dengan pengecualian yang sangat sepele dan mungkin terlihat jelas. Disini tidak ada pertanyaan tentang upeti, pajak, atau persekutuan.
Orang Jawa pada umunya saat itu adalah subjek Belanda. Raja Belanda adalah penguasanya. Keturunan para pangeran dan bangsawannya adalah pejabat Belanda. Mereka diangkat dipindahkan, dipromosikan, dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal yang memerintah atas nama raja. Para penjahat didakwa dan dihukum oleh hukum yang dibuat di Den Haag. Pajak yang dibayarkan oleh orang Jawa masuk ke dalam kas Belanda.
Keresidenan yang biasanya menduduki wilayah sebuah provinsi yang dibagi menjadi beberapa departemen atau kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang asisten residen. Pemerintahan dibawahnya dijalankan oleh kontrolir, pengawas, dan sejumlah petugas lain. Meraka bertugas untuk mengumpulkan pajak, mengawasi pertanian, mendirikan bangunan, membangun saluran air, sebagai polisi, dan menjalankan peradilan.
Asisten residen di setiap kabupaten/departemen dibantu oleh seorang kepala pribumi yang berpangkat tinggi dan bergelar Bupati. Bupati tersebut selalu berasal dari kalangan bangsawan tinggi di negerinya dan sering kali berasal dari keluarga pangeran yang memerintah di daerah itu sebagai penguasa yang berdaulat. Di Belanda, sangatlah politis untuk memanfaatkan pengaruh feodal kuno para pangeran yang biasanya sangat besar di Asia.
Jika sebuah negara harus diperintah dari jarak yang jauh, maka diperlukan pejabat-pejabat yang mewakili kekuasaan pusat. Misalnya, orang-orang romawi dibawah sistem despotisme militer memilih residen dari antara para jenderal legiun yang telah menaklukkan suatu negara.
Orang-orang yang dipercaya memerintah daerah tersebut pasti berusaha mendapatkan jaminan dari kaisar untuk putra mereka atau jika tidak ada putra maka dialihkan ke kerabat lain yang dapat mewarisi jabatannya mereka kelak. Pada awalnya memang itu adalah bentuk bantuan yang segera menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi keharusan. Namun hal tersebut sesungguhnya tidak pernah menjadi hukum Undang-undang.
Seorang Bupati, sebagai wakil dari orang-orang jawa dan dianggap sebagai suara dari ratusan ribu atau lebih penduduk di Kabupatennya, juga di mata pemerintah merupakan tokoh yang jauh lebih penting daripada pegawai eropa yang sederhana yang ketidakpuasannya tidak perlu dikhawatirkan, karena mereka bisa mendapatkan orang lain sebagai penggantinya. Sementara ketidaksenangan seorang Bupati bisa menjadi bibit kerusuhan atau semacam pemberontakan.
Kesopanan bawaan lahir dari para bangsawan Jawa membuat hubungan yang tampaknya sulit ini menjadi lebih dapat ditoleransi. Bahkan, orang Jawa biasa jauh lebih sopan daripada orang eropa dalam kondisi yang sama.
Menjadi hal yang wajar ketika para bupati (Pimpinan Pribumi) lebih diutamakan daripada pejabat Eropa karena kekayaanya. Orang Eropa ketika dipercayakan untuk memerintah sebuah provinsi atau daerah dengan status sudah berkeluarga maka dengan gaji yang tergolong memadai, tetapi sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Berbeda dengan Bupati yang bahkan adalah ”Tumenggung” atau ”Pangeran Jawa”, masalah baginya bukanlah soal mencari nafkah, melainkan lebih kepada keharusan hidup sesuai dengan pangkatnya.
Jika orang Eropa tinggal di sebuah rumah, tempat tinggal Bupati sering kali berupa keraton. Jika orang eropa lazimnya memiliki seorang istri dan beberapa anak (3 sampai 4), Bupati menghidupi sejumlah besar wanita dengan para pelayannya. Untuk membuat laporan inspeksinya, orang eropa biasanya membutuhkan beberapa petugas untuk mengikuti sesuai keperluan. Bupati diikuti oleh ratusan pengikut yang menjadi bagian dari abdi dalem. Di mata rakyat, mereka tidak dapat dipisahkan dari pangkatnya yang tinggi. Orang eropa hidup layaknya warga negara, bupati hidup atau seharusnya hidup sebagai seorang pangeran.
Namun sebetulnya, sangat jarang bisa dikatakan mencukupi pemenuhan biaya-biaya yang harus ditanggung oleh cara hidup seorang Kepala Derah Pribumi. Dengan pendapatan yang tergolong tinggi sekalipun, namun dengan tindakan ketidakpedulian para petinggi dalam menghambur-hamburkan uangnya, kelalaian dalam mengawasi para bawahannya dan kesenangan dalam berbelanja.
Tentu sifat-sifat demikian kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa yang membuat para petinggi semakin mengalami kesulitan keuangan.
Berdasarkan sumbernya, pendapatan para bangsawan Jawa terbagi dalam beberapa bagian, yaitu diantaranya adalah gaji bulanan tetap, sejumlah uang ganti rugi atas hak-hak mereka yang telah dibeli/diserahkan kepada pemerintah Belanda, pajak atas hasil bumi di daerah mereka dan yang terakhir adalah bersumber dari tenaga kerja dan harta benda rakyat.
Orang Jawa mematuhi para pemimpinnya. Untuk memenangkan hati para pemimpin, hanya perlu memberi mereka sebagian dari keuntungan, dan kesuksesan pun tercapai. Para pimpinan Jawa hanya memberikan upah minimum kepada warganya hanya untuk mencegah terjadinya kelaparan dan hal inilah yang dikemudian mengurangi daya produksi bangsa.
Tak luput juga bagimana para kepala suku pribumi pada umumnya yang memperoleh pendapatan dari penggunaan sewenang-wenang mereka terhadap tenaga orang-orang dan harta benda rakyatnya. Keturunan atau kerabat pangeran-pangeran terdahulu kerap mengambil keuntungan dari ketidaktahuan rakyat yang belum begitu mengerti bahwa yang meraka sepakati sebagai pimpinan adalah telah menjadi pejabat bayaran yang telah menjual hak-haknya sendiri dan hak-hak rakyat demi pendapatan tetap.
Sangat sulit dan bahkan tidak mungkin untuk menghentikan penyalahgunaan semacam itu karena sudah menjadi sifat penduduk itu sendiri untuk mendukung dan menciptakannya. Orang Jawa adalah orang jawa yang berjiwa besar, apalagi ketika harus membuktikan kesetiaan mereka kepada pimpinannya atau keturunan yang dipatuhi oleh nenek moyangnya.
Sikap-sikap ”pengkultusan” ini lebih dianggap sebagai bentuk cinta bakhti dengan mempersembahkan hadiah kecil kepada ayahnya daripada disadari sebagai penghormatan kepada tirani yang zalim. Namun tetap saja, keberadaan adat istiadat yang baik ini membuat penghapusan kebiasaan buruk menjadi demikian sulit.
Penduduk sekitar lebih memilih untuk lebih dahulu membajak lahan kosong milik Bupati untuk dijadikan sawah dan kemudian ditanami daripada mengolah sawah milik sendiri. Disinilah letak penyalahgunaannya, ketika Bupati memanggil seluruh penduduk Desa untuk menggarap sawahnya sendiri padahal terdapat sawah milik si penduduk ini yang menunggu untuk digarap.
”Jika dahulu rakyat harus bergotong-royong menggarap sawah milik Bupati, hari ini rakyat dipaksa bergotong-royong membiayai perilaku hedonisme pejabat publik lewat pajak dan anggaran negara”.
Petikan kalimat diatas bukan tanpa maksud dan alasan yang jelas, bahwa tak jarang para pejabat publik yang seharusnya menjadi representasi dari masyarakat sipil kemudian membangun eksklusifitas di tengah kondisi rakyat yang semakin tercekik dengan perekonomian. Alih-alih merumuskan kebijakan melalui rancangan undang-undang yang diharapkan menjadi secercah cahaya penyelamat dari keterpurukan, para elit tersebut tanpa beban dan merasa sudah sepantasnya untuk mempertontonkan koleksi berupa harta kekayaan yang dikantongi.
Keterikatan historis ini memang senyatanya tidak berhenti dimasa kolonial. Mentalitas feodal yang diwariskan oleh sistem Pangreh Praja ternyata masih berakar kuat dalam birokrasi Indonesia hingga kini. Jika dahulu seorang Bupati dipandang sebagai penguasa yang harus dihormati layaknya kaum bangsawan, maka kini tak sedikit pejabat publik yang masih menuntut perlakuan serupa. Disambut dengan karpet merah, haus akan kehormatan yang pada akhirnya diberikan bukan karena pencapaian/prestasi, melainkan tidak lebih atas dasar semata-mata karena jabatan yang diperolehnya.
Hedonisme yang melekat pada Pangreh Praja tempo dulu dengan keraton megah, abdi dalem, serta kemewahan yang dipertontonkan seakan menjelma kembali dalam bentuk gaya hidup pejabat kontemporer. Hanya saja untuk pola dan penamaan sumber keistimewaan tersebut yang demikian berevolusi. Jika dahulu kemewahan tersebut dibiayai dari hasil bumi, tenaga rakyat dan hak-hak feodal, kini ini bersumber dari anggaran negara, pajak masyarakat, serta praktik-praktik rente kuasa dan seolah-olah jabatan publik bukanlah amanah untuk pengabdian atau melayani, melainkan tiket untuk hidup dalam kemewahan.
Lebih jauh lagi, bahwa pola patronase juga masih tumbuh subur. Jika dahulu rakyat lebih memilih menggarap sawah milik Bupati dengan dalil ”Basa-basi kesetiaan” ketimbang mengurus tanahnya sendiri, kini fenomena serupa kembali terlihat ketika sebagian besar birokrat, pengusaha, atau katakan saja kelompok kepentingan yang lebih sibuk menyenangkan hati pejabat daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Loyalitas semu ini mengekalkan budaya feodal dalam wujud modern.
Inilah yang membuat hedonisme pejabat publik hari ini bukanlah sekedar persoalan moral individu, tetapi juga cerminan warisan kolonial yang tidak pernah kita putuskan dengan serius. Mental Pangreh Praja itu, dengan segala simbol feodalisme dan jarak kekuasaan tetap hidup dalam tubuh birokrasi pemerintahan Indonesia. Seakan kita merdeka secara politik, tetapi masih terjajah oleh watak pemerintah kolonial yang diwariskan melalui elit-elit lokal.
Sebagai garis besar yang perlu dipahami bersama adalah bukan lagi perihal busana atau bangunan yang menjadi corak warisan kolonialisme, melainkan mentalitas ataupun karakter feodal yang belum betul-betul sirna dari watak pejabat publik kita. Narasi gotong-royong yang selalu digembor-gemborkan bukanlah untuk segelintir elit, melainkan perjuangan secara bersama-sama untuk hidup yang lebih berkeadilan.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Kereta Kencana Kolonial di Parlemen
3 jam lalu
Membubarkan DPR: Jalan Reformasi atau Awal Otoritarianisme
Jumat, 29 Agustus 2025 07:36 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler